A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.
Pengertian
Dispepsia
berasal dari bahasa Yunani, Dys berarti sulit dan Pepse berarti pencernaan
(N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis
yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan.
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang
terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada
(heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia
(Mansjoer A edisi III, 2000 hal : 488).
Dyspepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri
dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang,
sendawa (Dharmika, 2001). Sedangkan menurut Aziz (1997), sindrom dyspepsia
merupakan kumpulan gejala yang sudah dikenal sejak lama, terdiri dari rasa
nyeri epigastrium, kembung, rasa penuh, serta mual-mual.
Dyspepsia adalah suatu penyakit saluran
cerna yang disertai dengan nyeri ulu hati (epigastrium), mual, muntah, kembung,
rasa penuh atau rasa cepat kenyang dan sendawa.
Dispepsia sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala yang ada maupun intensitas gejala tersebut dari waktu kewaktu
(Kapita Selekta Kedokteran).
Dispepsia sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, keluhan ini sangat bervariasi, baik dalam jenis gejala yang ada maupun intensitas gejala tersebut dari waktu kewaktu
(Kapita Selekta Kedokteran).
Dapat disimpulkan dispepsia merupakan kumpulan
keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian
atas yang menetap atau mengalami kekambuhan menandakan adanya penyakit system pencernaan.
2. Epidemiologi/Insiden
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan
bahwa 15 – 30 % orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di
inggris dan skandinavia dilaporkan angka prevalensinya berkisar 7 – 41 % tetapi
hanya 10 – 20 % yang mencari pertolongan medis. Insiden dispepsia pertahun
diperkirakan antara 1 – 8 % (Suryono S, et all, 2001 hal 154). Dan dispepsia
cukup banyak dijumpai. Menurut Sigi, di negara barat prevalensi yang dilaporkan
antara 23 dan 41 %. Sekitar 4 % penderita berkunjung ke dokter umumnya
mempunyai keluhan dispepsia. Didaerah asia pasifik, dispepsia juga merupakan
keluhan yang banyak dijumpai, prevalensinya sekitar 10 – 20 % (Kusmobroto H,
2003)
Penyakit ini sering diderita oleh
masyarakat karena penyakit ini berhubungan dengan :
·
Keadaan sosial
ekonomi masyarakat
·
Pola makan
·
Keadaan makanan
Dispepsia
merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari seperempat
populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke dokter.
Dalam suatu penelitian mengenai dispepsia kronis yang belum diketahui
penyebabnya dengan bantuan endoskopi, ternyata sebagian besar adalah termasuk
Dispepsia Non Ulkus (DNU).
3. Etiologi/penyebab
Seringnya,
dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux, asam lambung
terdorong ke atas menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang
dari faring ke dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa
obat-obatan, seperti obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia.
Terkadang penyebab dispepsia belum dapat ditemukan.
Penyebab dispepsia antara lain:
a.
Perubahan
pola makan
b.
Pengaruh
obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu yang lama
c.
Alkohol
dan nikotin rokok
d.
Tumor
atau kanker saluran pencernaan (Kanker lambung)
e.
Menelan udara
(aerofagi)
f.
Regurgitasi
(alir balik, refluks) asam dari lambung
g.
Iritasi lambung
(gastritis)
h.
Ulkus gastrikum
atau ulkus duodenalis
i.
Peradangan
kandung empedu (kolesistitis)
j.
Intoleransi
laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
k.
Kelainan
gerakan usus
l.
Stress
psikologis, kecemasan, atau depresi
m.
Infeksi
Helicobacter pylory
4. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang
tidak jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan
stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong,
kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara
dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan
produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung,
sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake
tidak adekuat baik makanan maupun cairan.
5. Klasifikasi dispepsia
Dyspepsia dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Dispepsia
Organik
Terjadi apabila
telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebab atau adanya kelainan
sistemik yang jelas, adanya kelainan organik sebagai penyebabnya Sindroma
dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak
(luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, gastritis,
pankreatitis, kolesititis dan lain-lain.
2.
Dispepsia Non
Organik (Dispepsia fungsional/non ulkus)
Dispepsia
nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila tidak
jelas penyebabnya atau tanpa didapat kelainan struktur/organik. Dispepsia
fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan
pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran
pencernaan).
6. Manifestasi Klinis
a. nyeri perut (abdominal discomfort)
b. Rasa perih di ulu hati
c. Mual, kadang-kadang sampai
muntah
d. Nafsu makan berkurang
e. Rasa lekas kenyang
f. Perut kembung
g. Rasa panas di dada dan
perut
h. Regurgitasi (keluar cairan
dari lambung secara tiba-tiba)
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi dispepsia menjadi tiga tipe :
1) Dispepsia
dengan keluhan seperti ulkus, dengan gejala:
a. Nyeri
epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang
setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat
lapar
d. Nyeri
episodik
2) Dispepsia
dengan gejala seperti dismotilitas, dengan gejala:
a. Mudah
kenyang
b. Perut cepat
terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper
abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak
nyaman bertambah saat makan
3) Dispepsia
nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas) (Mansjoer, et al,
2007).
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman
pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang
keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,
pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi
nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi
respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala
lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
7. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan umum
§ Kesadaran
§ Tanda-tanda vital
B. Kulit
§ Lesi, tanda peradangan
§ Turgor kulit baik, cepat kembali < 1 detik
§ Kelembaban kulit
§ Gejala cyanosis
C. Kepala
§ Warna rambut dan distribusi
§ Kotoran kulit kepala / ketombe
§ Bentuk
simetris, tidak terdapat adanya benjolan.
D. Penglihatan
§ Gerakan bola mata, konjungtiva
§ Refleks terhadap cahaya
§ Ada atau tidaknya gangguan penglihatan (Visus).
E. Mulut
§ Mukosa bibir dan warna lidah
§ Warna gusi
F. Dada / Pernafasan / Sirkulasi.
§ Bentuk dada dan retraksi dinding dada
§ Fremitus vokal dextra dan sinistra
§ Bunyi 1 dan 2 tunggal, ada atau tidaknya terdengar
bunyi nafas tambahan
G. Abdomen
§ Bentuk abdomen, kembung
§ Nyeri tekan daerah hipogastrik kiri, teraba atau
tidak pembesaran hati.
§ Bunyi timpany, kembung
§ Peningkatan bising usus
H. Ekstremitas atas & bawah
§ Akral hangat atau tidak, bentuk tangan dextra
dan sinistra, jumlah jari, ada atau tidaknya pembatasan gerak
ekstremitas atas
§ Bentuk kaki, tidak terdapat gejala / tanda oedema,
ada atau tidaknya pembatasan gerak ekstremitas bawah
8.
Pemeriksaan Diagnostik/penunjang
Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang
sama, seperti halnya pada sindrom dispepsia, oleh karena dispepsia hanya
merupakan kumpulan gejala dan penyakit disaluran pencernaan, maka perlu
dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan penyakitnya, maka perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan, selain pengamatan jasmani, juga perlu diperiksa :
laboratorium, radiologis, barium enema, endoskopi, USG, dan
lain-lain.
- Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dyspepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung (Hadi, 2002). Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9 (Vilano et al, cit Hadi, 2002).
2.
Radiologis
Pemeriksaan
radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran makan.
Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran makan
bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.
3.
Barium enema untuk memeriksa
kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan pada orang yang mengalami
kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang
membaik atau memburuk bila penderita makan (Mansjoer, 2007).
- Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
- CLO (rapid urea test)
- Patologi anatomi (PA)
- Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
- PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
- Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia) (Mansjoer, 2007). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagusnyang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin (Hadi, 2002). Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin (Vilano et al, cit Hadi, 2002). Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah (Shirakabe cit Hadi, 2002). Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal loops (Hadi, 2002).
- Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau respon kerongkongan terhadap asam.
9. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia
diperlukan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang akurat disertai
pemeriksan penunjang untuk mengeksklusikan penyakit organik/struktural. Adanya
keluhan tambahan yang mengancam (Alarm simptom) seperti adanya penurunan berat
badan, anemia, kesulitan menelan, perdarahan, dugaan obstruksi SCBA, dll.
Mengharuskan kita melakukan ekplorasi diagnosis secepatnya. Untuk itu pemeriksaan
esopagus troduodenoscopi memegang peranan penting, disamping pemeriksaan
radiologis, laboratorium, endoscope. (Esopagus, gastroduodenoscopi, sidikan
abdomen, monometri esopagus-gastroduodonum) waktu pengusongan lambung,
Dispepsia yang ditemukan setelah pemeriksaan penunjang yang akurat, mempunyai
prognosis yang baik.
10.
Penatalaksanaan Medik
a. Penatalaksanaan non
farmakologis
1)
Menghindari
makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
2)
Menghindari
faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan yang berlebihan,
nikotin rokok, dan stres
3)
Atur
pola makan
b. Penatalaksanaan
farmakologis yaitu:
Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang
memuaskan terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena
proses patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 %
kasus DF reponsif terhadap placebo. Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid
(menetralkan asam lambung) golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam
lambung) dan prokinetik (mencegah terjadinya muntah).
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan
Helicobacter pylori 1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang
dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau
internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di
masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa
golongan obat, yaitu:
Ø Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat
ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung.
Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat.
Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis
besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
Ø Antikolinergik
Perlu
diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif
yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan
seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
Ø Antagonis reseptor H2
Golongan obat
ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti
tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain
simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
Ø Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
Ø Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
Ø Golongan prokinetik
Obat yang
termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan
ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance)
(Mansjoer et al, 2007).
Ø Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka
(obat anti-depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti
cemas dan depresi (Sawaludin, 2005)
11. Komplikasi dispepsia
Komplikasi-komplikasi dari
penyakit-penyakit fungsional dari saluran pencernaan adalah relatif terbatas.
Karena gejala-gejala paling sering dibangkitkan (diprovokasi) oleh makan,
pasien-pasien yang merubah diet-diet mereka dan mengurangi pemasukan kalori-kalori
mereka mungkin kehilangan berat badan. Bagaimanapun, kehilangan berat badan
adalah tidak biasa pada penyakit-penyakit fungsional. Gejala-gejala yang
membangunkan pasien-pasien dari tidur juga kemungkinan disebabkan oleh
penyakit-penyakit bukan fungsional daripada fungsional.
Paling umum,
penyakit-penyakit fungsional mengganggu kesenangan (hidup) dan
aktivitas-aktivitas harian pasien. Orang-orang yang mengembangkan mual atau nyeri
setelah makan mungkin melewati makan pagi atau makan siang. Pasien-pasien juga
umumnya menghubungkan gejala-gejala dengan makanan-makanan spesifik (contohnya,
susu, lemak, sayur-sayuran), pasien-pasien ini akan membatasi diet-diet mereka.
Susu adalah makanan yang paling umum yang dieliminasi (dihilangkan), seringkali
secara tidak perlu, dan ini dapat menjurus pada pemasukkan yang tidak memadai
dari kalsium dan osteoporosis.
12.
Pencegahan
Modifikasi
gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan
memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung (Ariyanto, 2007).
Berikut ini adalah modifikasi gaya
hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat
dispepsia :
a.
Atur pola makan
seteratur mungkin.
b.
Hindari makanan
berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung
(coklat, keju, dan lain-lain).
(coklat, keju, dan lain-lain).
c.
Hindari makanan
yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon, semangka, dan
lain-lain).
d.
Hindari makanan
yang terlalu pedas.
e.
Hindari minuman
dengan kadar caffeine dan alkohol.
f.
Hindari obat
yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-inflammatory, misalnya yang
mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah
pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi
pada dinding lambung.
g.
Kelola stress
psikologi se-efisien mungkin.
h.
Jika anda
perokok, berhentilah merokok.
i.
Jika anda
memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.
j.
Hindari
faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalu banyak,
terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makan sesaat
sebelum olahraga.
k.
Pertahankan
berat badan sehat
l.
Olahraga
teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untuk mengurangi
stress dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.
m.
Ikuti
rekomendasi dokter mengenai pengobatan dispepsia, baik itu antasid, PPI, penghambat
histamin-2 reseptor, dan obat motilitas.
semoga bermanfaat
BalasHapus